artikel
lintasmedia
news
Jurus Indonesia Barokah Meniru Obor Rakyat: Menyasar Ceruk Offline
Wednesday, January 30, 2019
0
Oleh: Ahmad Zaenudin
"Di era digital ini, tabloid Indonesia Barokah dicetak dan disirkulasi ke banyak wilayah Indonesia dengan biaya tak sedikit"
Terbungkus amplop coklat, tabloid yang mengusung tajuk utama “Reuni 212: Kepentingan Umat atau Kepentingan Politik?” itu menyebar ke banyak wilayah di Indonesia, utamanya di masjid-masjid dan berbagai pesantren.
"Di era digital ini, tabloid Indonesia Barokah dicetak dan disirkulasi ke banyak wilayah Indonesia dengan biaya tak sedikit"
Terbungkus amplop coklat, tabloid yang mengusung tajuk utama “Reuni 212: Kepentingan Umat atau Kepentingan Politik?” itu menyebar ke banyak wilayah di Indonesia, utamanya di masjid-masjid dan berbagai pesantren.
Di Kalimantan Selatan, ditemukan 21 koli kargo dengan
416 amplop di tiap koli dan 3 eksemplar tabloid dalam setiap amplopnya. Di
Bekasi, di 12 masjid, ada 36 eksemplar tabloid yang diterima. Di Cianjur, 333
eksemplar tabloid tersebut menyebar di berbagai masjid dan pesantren.
Indonesia Barokah, demikian nama tabloid itu, menyebar
secara masif di Indonesia. Tabloid yang—menurut susunan redaksi yang
tertulis—berada di bawah tanggung jawab Moch. Shaka Dzulkarnaen dan Ichwanuddin
sebagai pemimpin umum dan pemimpin redaksi itu memanfaatkan jasa antar PT. Pos
Indonesia.
Tabloid Indonesia Barokah mengabarkan informasi dengan
bingkai yang cenderung bertujuan menghasilkan sentimen negatif kepada capres
Prabowo Subianto. Ini serupa tabloid Obor Rakyat pada Pilpres 2014, yang kerap
disebut sebagai media yang sukses memproduksi kampanye negatif terhadap Joko
Widodo. Dua pengelolanya bahkan dipidana bertolak dari aduan Jokowi.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes
Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menyebut Polri bersama PT. Pos Indonesia
beserta pihak masjid dan pesantren melakukan langkah progresif untuk menindak
penyebaran tabloid tersebut. Salah satu langkahnya adalah menyetop proses
pengiriman tabloid-tabloid yang telanjur ada di tangan Pak Pos.
Biaya sirkulasi tabloid Indonesia Barokah tak murah.
Ini diamini oleh Ardiantha Saputra, Kepala Kantor Pos Tulungagung. Ardiantha.
Ia, seperti dikutip Detik, menyebut “total pendapatan (nasional) yang diterima
(dari biaya mengirimkan tabloid oleh pengirim) mencapai Rp1,458 miliar.”
Di luar konten yang kontroversial, mengapa Indonesia
Barokah memilih merilis produk mereka dalam bentuk cetak dan menyebarkannya
secara konvensional, sementara dunia online menyajikan cara lebih sederhana
untuk tujuan serupa?
Mengakses Dunia Offline
Modus Indonesia Barokah itu ada presedennya. Seperti
disebut di atas, Obor Rakyat, tabloid panas yang hadir pada masa pemilihan
presiden 2014, bekerja seperti tabloid Indonesia Barokah kini. Tabloid itu
disebar secara offline: dari masjid ke masjid, pesantren ke pesantren, bukan
secara online.
Setiyardi Budiono, Pemimpin Redaksi Obor Rakyat,
menyebut tindakan menyebarkan tabloidnya secara offline tersebut dilakukan
karena penetrasi internet pada 2014 belum seperti sekarang.
Ia benar. Pada 2014, hanya ada sekitar 44 juta
pengguna internet di Indonesia, atau kurang dari 20 persen total populasi
penduduk. Menyebarkan konten-konten yang dimuat Obor Rakyat dalam bentuk media
cetak merupakan pilihan terbaik untuk meluaskan jangkauan keterbacaan tabloid
tersebut.
Lima tahun berlalu, peta sudah berubah. Statista
melansir data yang menunjukkan ada 120 juta pengguna internet asal Indonesia.
Obor Rakyat yang hendak terbit-ulang di tahun 2019 menyatakan tak hanya akan
terbit dalam format cetak. Obor Rakyat pun akan terbit secara online.
“Kalau bentuk akan [juga tampil] sebagai kanal [format
digital],” ucap Setiyardi.
Mengapa Obor Rakyat mesti terbit juga secara online?
Menurut Setiyardi, format digital adalah masa depan, yang menggilas format
konvensional. “Lima tahun ke depan ini akan semakin menggila media-media
mainstream, media cetak [mati].”
Lalu, jika pengguna internet telah semakin membesar,
mengapa Obor Rakyat dan penirunya, Indonesia Barokah, masih akan terbit sebagai
media cetak?
Pertumbuhan jumlah pengguna internet memang besar.
Tahun ini, penetrasi pengguna internet Indonesia berada pada angka 44,3 persen
dari total populasi penduduk.
Sayangnya, meski penikmat internet terhitung besar,
penduduk yang saling terhubung via internet tidak merata. Ada jarak yang cukup
besar antara online dan offline.
Alice Truong, dalam laporannya di Quartz, membuktikan
ketidakmerataan pengakses internet dengan membandingkan jumlah bahasa yang
digunakan di dunia offline dengan bahasa yang digunakan di dunia online.
Hasilnya, ada lebih dari 7 ribu bahasa yang digunakan penduduk di dunia
offline. Sementara itu, pengguna Google hanya menggunakan tak lebih dari 500
bahasa dan penduduk Facebook baru menggunakan 130 bahasa di platformnya.
Di Indonesia, menurut Survei Penetrasi dan Perilaku
Pengguna Internet yang diselenggarakan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) pada 2017, ketidakmerataan penetrasi internet dibagi ke dalam
tiga wilayah: urban (wilayah dengan GDP yang berasal dari non-pertanian),
urban-rural (campuran), dan rural (pertanian).
Di wilayah urban, penetrasi internet telah mencapai
72,41 persen. Namun, di wilayah urban-rural dan rural, penikmat internet hanya
mencakup sekitar separuh penduduk: masing-masing 49,49 persen dan 48,25 persen
dari seluruh penduduk.
Artinya, meski pengguna internet besar, masih ada
penduduk tak terkoneksi internet dengan porsi yang juga besar di wilayah
urban-rural dan rural. Artinya, berkampanye politik secara offline di era
digital ini masih sangat relevan.
Kaum Imigran Digital
Relevansi memasarkan produk secara offline tak hanya
disebabkan faktor penetrasi. Di dunia yang semakin "segalanya
digital", ada orang-orang yang masih menyenangi sentuhan-sentuhan
konvensional, sentuhan offline.
Marc Prensky dalam “Digital Native, Digital
Immigrants,” menyebut bahwa setidaknya ada dua tipe manusia di era ini: digital
native dan digital immigrants.
Digital native merupakan mereka kaum milenial dan
generasi setelahnya, kaum yang hidup dan tumbuh bersama Google, Facebook, dan
aplikasi e-mail yang memudahkan berkirim surat. Generasi pribumi digital ini
lahir sejak dekade 1980an hingga hari ini.
Generasi yang lahir sebelum mereka adalah imigran
digital. Kaum ini hidup di wilayah yang serba-digital, tetapi pemikiran dan
cara hidupnya masih berpatok ada cara lama. Meski hidup di tengah kungkungan
teknologi, imigran digital tak tercebur dalam era internet of things.
Mereka masih membaca pesan SMS dan telepon, alih-alih
ruang chat. Mereka juga tak paham betul cara menggunakan media sosial, termasuk
saat mereka mempunyai akun media sosial. Mereka masih membaca media cetak,
alih-alih tergantung pada sediaan informasi di internet. Kaum inilah yang
nampaknya ingin disasar tabloid Indonesia Barokah.
Artikel ini telah dimuat di tirto.id
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor:
Maulida Sri Handayani
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment